Hipertensi Mengintai? Kontrol Tekanan Darah untuk Mencegah Penyakit Berbahaya



– Jarum suntikan menyentuh lengannya dan kakinya milik Nur Kholish (66) sebelum meneteskan darahnya melalui selang menuju tabung dialisis.

Mesin cuci darah (hemodialisis) bertugas untuk menghilangkan sisa-sisa limbah serta cairan ekstra dari aliran darah. Ini menjabat sebagai pengganti ginjal bagi mereka yang organ ini telah kehilangan fungsinya secara optimal. Setelah proses penyaringan selesai, darah segar tersebut dikembalikan lagi ke dalam tubuh lewat saluran pada bagian paha.

“Badan terasa sejuk,” katanya kepadaصند
Pada tanggal 5 April 2025, di area instalasi hemodialisis RSU Dr Suyudi yang berlokasi di Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Itulah saat pertamanya melakukan hemodialisis. Badannya menggigil menangapi pergerakan darah masuk dan keluar dari tubuhnya. Meskipun begitu, di atas ranjang rumah sakit dia masih menggunakan selendang serta seprai untuk berusaha merasa hangat.

Kholis saat ini harus melakukan terapi cuci darah atau hemodialisis sebanyak dua kali dalam satu minggu. Untuk dia, hal ini lumayan membuat lelah. Setiap sesi pengobatan bisa berlangsung hingga mendekati empat jam. Dia juga perlu meluangkan waktu tambahan selama dua jam untuk menuju dan kembali dari fasilitas kesehatan menggunakan transportasi publik secara bolak-balik. Perjalanannya dimulai dari kediamannya yang ada di Sedayulawas, sebuah desa di bagian pantai utara Kabupaten Lamongan, sampai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tuban.

Saya dialihkan ke RSUD Tuban untuk sesi cuci darah selanjutnya, sebab daftar pasien hemodialisis di RSU Dr Suyudi sudah penuh.

“Terdaftar masih ada 25 orang pasien, termasuk saya juga. Untungnya, di RSUD Tuban terdapat tempat kosong, sehingga kami dialihkan ke sana. Jarak bukanlah masalah selama bisa melakukan hemodialisis. Sebab jika tidak, tubuh akan merasa tak nyaman. Akan sakit dan pembengkakan pun muncul,” katanya saat berbagi cerita.

Walaupun menemui kesulitan dalam proses pengobatan, Nur Kholish masih bersyukur karena biaya medisnya—termasuk obat-obatan, kunjungan dokter, serta perawatan hemodialisis—ditanggung sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan. Namun demikian, ada kalanya keluarganya dihadapkan pada masalah-masalah administratif yang memusingkan, misalnya soal surat rujukan.

Operasi untuk pemasangan
double lumen
Atau ada jeda dengan perdarahan di area sekitar leher. Sampai dilakukan prosedur pasang alat, AV shunt, yaitu jalur akses untuk mencuci darah secara permanen pada lengan.

“Jika tidak menggunakan BPJS, akan sangat mahal. Biaya untuk satu kali sesi hemodialisis saja bisa mencapai Rp 1 juta. Belum lagi biaya tambahan seperti obat-obatan, operasi, serta perawatan. Sementara itu, saya pribadi sudah tidak bekerja,” ungkap Nur Kholish.

Meski berada dalam suasana yang dipenuhi tantangan, dia menyadari dan menyetujui keadaannya sekarang. Dia mengembangkan pemikiran positif dengan melihat hemodialisis sebagai sebuah perawatan medis.

Dia masih dapat menjalankan kegiatan sehari-hari secara normal, namun perlu rajin melaksanakan tindakan cuci darah. Selain itu, hal utama lainnya adalah mengurangi asupan air beserta makanan yang kaya akan kalium dan protein, misalnya sayuran berwarna hijau dan produk hewani.

Penyakit kronis

Nur Kholish tak terduga bahwa selama hidupnya saat ini sangat bergantung pada alat cuci darah (hemodialisis) akibat kondisi gagal ginjal. Meski demikian, masalah kesehatannya ini tidak muncul secara mendadak melainkan bertambah pelan-pelan dan tanpa adanya indikasi spesifik sama sekali. Awal mulanya adalah sesuatu yang sering diabaikan oleh banyak orang yaitu peningkatan tekanan darah atau disebut juga sebagai hipertensi.

Di bulan April tahun 2021, seorang ayah yang memiliki dua orang anak mendapatkan diagnosa penyakit diabetes. Level glukosa dalam darahnya tercatat di angka 140 mg/dL, lebih tinggi dibanding nilai standar yaitu 125 mg/dL. Pemeriksaan tersebut juga menunjukkan adanya tanda-tanda tekanan darah tinggi atau hipertensi. Tekanan darahnya sempat naik hingga ke titik 170 mmHg, jauh melampaui ambang batas normal yakni 140 mmHg. Sang dokter pun lantas menganjurkannya untuk menggunakan obat penurun tekanan darah. Akan tetapi, sang tenaga medis tak menyebutkan konsekuensinya apabila ia memilih untuk tidak minum obat tersebut.

Dia mengabaikan dan berhenti minum obat meskipun tidak merasakan tanda-tanda tekanan darah tinggi. Dia percaya bahwa kesehatannya masih dalam keadaan baik, jadi dia tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan atau kunjungan berkala untuk mengecek ulang kondisinya.

BACA JUGA:  Apakah Kafein di Kopi Bisa Rusakkan Ginjal? Mari Ketahui Kejutannya

“Saya rasa ini normal. Sebab tidak ada rasa nyeri, saya masih dapat menjalani aktivitas seperti biasa dan tetap kuat untuk berjalan kaki,” ucapnya.

Pada tanggal 24 Maret 2025, satu minggu sebelum Hari Raya Idul Fitri, kakinya bengkak. Ia merasa sesak napas dan kehilangan kemampuan mengecap rasa. Tiap malam, dia berpindah-pindir ke kamar mandi untuk membuang air. Sulit tidur dan selalu cemas. Lima hari setelah lebaran, tepatnya pada 4 April 2025, dia menjalani pemeriksaan di fasilitas layanan kesehatan primer dan akhirnya dirujuk ke poliklinik spesialis penyakit dalam.

Dokter mengindikasikan adanya penurunan kemampuan ginjalnya. Ginjal tak mampu membuang sisa-sisa cairan secara efisien. Akibatnya, fluida berlebih ini terakumulasi di bagian tubuh yang lebih rendah seperti kaki, menyebabkan pembengkakan. Kemudian, sampel darah diperoleh untuk dilakukan analisis di lab.

“Kadar serum kreatinin awal berada pada angka 24,9,” ungkap Mujahidatun Nafsi, putri Nur Kholish yang merawat sang bapak. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan rentang nilai normal yaitu antara 0,7 hingga 1,2.

Kreatinin adalah produk sisa metabolisme yang dihilangkan dari tubuh melalui proses penyaringan ginjal dan kemudian dibuang lewat urine. Tingginya kadar kreatinin dalam darah menunjukkan bahwa fungsi ginjal telah menurun sehingga tidak dapat menyaring limbah secara efektif.

Hasil diagnosis dokter menunjukkan bahwa pasien mengidap penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease/ CKD) pada tahap kelima atau stadium 5 gagal ginjal. Penyebab utamanya adalah tekanan darah tinggi yang tidak mendapat penanganan tepat waktu dan akhirnya menjadi sulit dikontrol.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan bernomer HK.01.07/Menkes/1634/2023 yang membahas mengenai Panduan Nasional untuk Perawatan Medis Gagal Ginjal Kronis, data dari Survei Sosial Ekonomi Rumah Tangga bidang kesehatan dasar pada tahun 2018 yang dikeluarkan Balitbangkes mencatat angka kejadian PGK di Tanah Air adalah sebanyak 0,38%, setara dengan 3,8 individu tiap ribu jiwa populasi. Selain itu laporan ini juga melaporkan lebih kurang 60% pasien penyakit ginjal kronis membutuhkan terapi cuci darah (hemodialisis).

Dalam aspek pendanaan kesehatan, BPJS menyatakan adanya pertambahan dalam alokasi dana perawatan pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis tiap tahunnya. Di tahun 2024, total anggaran layanan medis bagi mereka yang didiagnosis mengidap gagal ginjal di FKRTL tercatat senilai Rp 11,06 triliun. Angka tersebut menunjukkan lonjakan cukup besar jika kita bandingkan dengan data tahun 2019 yang hanya berada di kisaran Rp 6,59 triliun.

“Tahun 2024 diperkirakan biayanya mencapai Rp 11 triliun, jumlah ini termasuk signifikan. Dana tersebut dialokasikan khusus untuk pengobatan gagal ginjal Kronis,” ungkap Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti saat menghadiri acara peringatan Hari Ginjal Dunia 2025 yang dipublikasi pada kanal YouTube Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), seperti dilansir pada Senin (19/5/2025).

Pada tahun 2024, BPJS Kesehatan melaporkan adanya 134.057 orang pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis. Selain itu, terdapat 3.085 pasien lainnya yang melakukan perawatan CAPD atau cuci darah sendiri secara berkelanjutan. Sementara itu, 132 pasien lagi telah menerima prosedur transplantasi ginjal.

Hipertensi, “The Silent Killer”

Hipertensi, yang merupakan bagian dari kelompok penyakit non-menular (PNM), menjadi salah satu alasan utama mengapa orang menderita gagal ginjal. Menurut data dari Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2020, kondisi fundamental yang sering kali diderita oleh pasien gagal ginjal yang sedang menjalani proses hemodialisis adalah penyakit ginjal akibat tekanan darah tinggi atau hipertensi.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2019, tingkat prevalansi hipertensi yang telah disesuaikan berdasarkan usia untuk populasi orang dewasa antara umur 30 hingga 79 tahun di seluruh dunia serta di Wilayah SEATSEA (South-East Asia) secara beruntun mencapai angka sebesar 33,1% dan 32,4%.

Dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan ginjal-hipertensi dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, dr Desca Medika Hertanto Sp.PD-KGH, menyatakan bahwa hipertensi adalah suatu kondisi yang sangat berisiko tinggi karena biasanya tidak memperlihatkan tanda-tanda pada stadium awal.

Saat dihubungi
Pada Selasa (20/5/2025), Dr. Desca mengatakan bahwa hipertensi disebut demikian.
silent killer
Karena gejalanya tidak terasa sampai menyebabkan kerusakan parah pada organ vital dalam tubuh. Ironisnya, tekanan darah tinggi biasanya tanpa gejala. Menurut dia, hal ini lah yang membuat sebagian besar orang mengira semuanya normal. Sebenarnya, hipertensi bisa menjadi pemicu untuk beragam penyakit berkelanjutan seperti stroki, penyakit jantung, serta gangguan ginjal.

BACA JUGA:  Konsumsi Kubis: Inilah 5 Manfaat Kesehatan yang Akan Mengejutkan Anda!

“Hipertensi disebut
silent killer
Karena tak terdapat tanda-tanda apapun. Masyarakat sering berpikir bahwa tekanan darah tinggi disertai dengan gejala-gejala seperti leher tegang atau merasa pusing, namun hal tersebut merupakan pemahaman yang keliru. Ketika tekanan darah meningkat, sistem peringatan dalam tubuh masih belum aktif. Sistem ini hanya akan mulai bekerja ketika tekanan darah sudah menimbulkan masalah pada organ lainnya seperti ginjal, jantung, serta otak,” ungkapnya.

Hipertensi diartikan sebagai tekanan darah sistolik (TDs) melebihi angka 140 mmHg. Menurut laporan dunia WHO, sekitar satu dari setiap tiga orang dewasa mengidap hipertensi. Pada tahun 2023, Organisasi Kesehatan Dunia memproyeksikan bahwa jumlah orang dewasa dengan hipertensi akan naik mendekati dua kali lipat dalam kurun waktu tiga dasawarsa belakangan ini, yaitu dari kira-kira 650 juta jiwa pada tahun 1990 menjadi 1,3 miliar orang dewasa pada tahun 2019.

Desca mengatakan bahwa sekitar 80% dari kasus hipertensi belum mengetahui asal-usulnya. Walau bagaimana pun, hipertensi dapat dideteksi lewat variabel risiko. Ini berarti, orang dengan lebih banyak variabel risiko memiliki peluang lebih besar untuk menderita hipertensi.

“Faktor ini meliputi genetik, misalkan ada riwayat keluarga yang hipertensi. Kemudian obesitas, kolesterol tinggi, dan diabetes. Gaya hidup termasuk menjadi faktor penyebab. Kalau malas gerak, konsumsi makanan manis dan asin yang berlebihan bisa mengakibatkan obesitas. Termasuk tidur yang kurang, kurang gerak, dan stres,” katanya.

Hasil dari Survey Kesehatan Nasional Indonesia (SKUIN) 2023 yang dikeluarkan oleh Badan Kebijakan Fiskal dan Pembaruan dalam Bidang Kesehatan di Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa persentase orang dewasa berusia antara 18 hingga 59 tahun yang mengidap tekanan darah tinggi serta memiliki masalah kelebihan bobot tubuh adalah sekitar 3,4 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan mereka yang menderita tekanan darah tinggi namun tidak tergolong gemuk. Sementara itu, jumlah pasien hipertensi pada kelompok usia tersebut yang jarang atau bahkan sama sekali tidak menjaga pola hidup aktif secara fisik mencapai angka 1,9 kali lipat ketimbang mereka yang rutin melaksanakan olahraga maupun gerak badani lainnya sesuai anjuran.

Menurutnya, sangat penting bagi orang dengan hipertensi untuk terus memantau tekanan darah mereka. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan secara berkala setidaknya satu kali per bulan pada individu berumur lebih dari 25 tahun. Dia menegaskan bahwa ada tiga langkah mudah yang dapat diterapkan untuk membantu meredam tekanan darah tinggi tersebut yaitu dengan menerapkan diet seimbang, menjaga agar berat badan tetap proporsional serta melakukan olahraga secara konsisten.

“Menambah jumlah sajian sayuran, buah, serta sumber protein pada waktu makan. Membatasi asupan lemak seperti jenis makanan gorengan. Di luar itu, menghindari konsumsi produk olahan atau kalengan dikarenakan kadar natrium atau garamnya yang tinggi dapat memicu peningkatan tekanan darah. Untuk para pasien dengan kondisi kegemukan, tiap pengurangan seberat satu kilogram dalam bobot tubuh mereka memiliki potensi untuk meredam tekanan darah,” jelasnya.

Tetapi, apabila tekanan darah sudah mencapai tingkat hipertensi, peranan obat-obatan menjadi penting dan tak boleh dilupakan.

Mengingat efek merata dari gagal ginjal di bidang kesehatan, masyarakat, dan ekonomi sangat signifikan, upaya deteksi dini serta pencegahan tetap harus diprioritaskan. Hal ini termasuk juga dalam menangani penyebab utamanya yaitu tekanan darah tinggi atau hipertensi yang bisa berbahaya tanpa adanya tanda-tanda awal yang nyata. Penting bagi pasien dengan kondisi hipertensi tersebut mendapatkan informasi medis secara menyeluruh.

Check Also

Apakah Sate Kambing Memang Meningkatkan Kolesterol? Inilah Jawabnya

Apakah Sate Kambing Memang Meningkatkan Kolesterol? Inilah Jawabnya

PORTAL PEKALONGAN – Sate daging kambing sungguh menggiurkan, terutama ketika dimakan panas-panas bersama orang-orang tersayang. …