Uni Eropa Pertimbangkan Sanksi ke Israel

.CO – Kritikan global mengenai serbuan militer di Gaza serta tindakan keras penduduk setempat di Wilayah Tertinggal akan membuat jalan bagi Israel menjadi lebih sulit secara ekonomi dan diplomatis. Hal ini berbarengan dengan Uni Eropa yang sedang mempertimbangkan opsi konkret untuk merevaluasi ikatan strategis mereka dengan Israel.

Hingga saat ini, dukungan militer dan politik dari Amerika Serikat (AS) telah menjadi fondasi penting bagi keberadaan Israel dalam skenario global. Akan tetapi, di bidang ekonomi, Eropa malah berperan sebagai mitra yang lebih erat dan memiliki dampak besar. Sembilan puluh persen transaksi dagang Israel dilakukan bersama Uni Eropa, sekaligus menjadi penyedia dana penelitian ilmiah melalui program Horizon. Selain itu, Eropa juga menjadi tujuan populer untuk pariwisata dan kolaborasi akademik para warganya.

Menurut artikel di The Guardian pada hari Senin (26/5), dengan semakin banyaknya tekanan dari dalam negeri, kesepakatan politik di Uni Eropa yang biasanya cukup fleksibel terhadap Israel mulai berubah. Josep Borrel, mantan pejabat urusan luar negeri UE, secara terang-terangan menegur sikap tidak tegas pihak tersebut.

“Bila seseorang dapat bertahan hidup dalam pemukiman tidak sah dan masih dengan leluasa melakukan perjalanan ke Eropa serta mengeksportkan barang-barang, bagaimana kita mengharapkannya untuk memandang kritikan kami secara serius?” ujar Borrell terhadap kurangnya tindakan konkret yang mendampingi protes diplomatis sejauh ini.

Pergeseran Negara yang Dulu Mendukung.

Pergeseran politik ini juga terlihat dari langkah negara-negara Eropa yang dulunya sangat mendukung Israel. Prancis mulai mempertimbangkan pengakuan sepihak atas negara Palestina. Inggris telah menjatuhkan sanksi terhadap dua menteri Israel.

Bahkan, Belanda yang selama ini menjadi salah satu sekutu paling setia Israel secara resmi meminta peninjauan ulang atas potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam perjanjian perdagangan bebas antara Uni Eropa dan Israel. Pasal 2 Perjanjian Asosiasi Uni Eropa-Israel menegaskan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip demokrasi adalah elemen esensial kerja sama kedua pihak.

dukungan untuk penilaian tersebut berasal dari 17 negara anggota Uni Eropa. Angka yang cukup mencolok dan memperlihatkan adanya ketakutan yang semakin menjalar. “Terjadi kesadaran bahwa jika Eropa tidak memberi konsekuensi pada kelalaian Israel terkait keprihatinan kami, hal itu bisa membuat kita dipandang sebelah mata,” ungkap seorang pejabat di blok tersebut.


Butuh Suara Bulat untuk Hentikan Perjanjian

Meskipun demikian, agar semua perjanjian kerjasama diakhiri sepenuhnya dibutuhkan voting atas kesepakatan bersama dari seluruh negara-negara anggotanya. Hal ini sangat sulit dicapai dalam jangka pendek. Akan tetapi, berbagai elemen tertentu misalnya seperti pembatalan tarif impor serta penundaan pembiayaan penelitian bisa dilakukan jika ada dukungan mayoritas sesuai dengan sistem kualifikasi tersebut. Sebaliknya, setiap tindakan apapun masih harus mendapatkan persetujuan dari Presiden Uni Eropa Ursula von der Leyen, orang yang hingga saat ini belum memberikan dukungan publiknya terhadap embargo ekonomi semacam itu.

Ahli Peringatkan Dampak Buruk Jangka Panjang

Selama ini, keragu-raguan masih menggelayuti akhir dari perselisihan yang berlangsung antara Israel dengan Iran, walaupun diyakini bahwa Amerika Serikat mungkin akan turut serta. Analisis para ahli militer dan diplomasi memberi peringatan bahwa sekalipun pemerintah Donald Trump setuju untuk mendukung secara militernya, sasaran strategis dalam jangka waktu lama bagi Israel bakal menjadi hal yang sukar dicapai, lebih-lebih lagi berkaitan dengan pemusnahan proyek senjata nuklir mereka serta pergantian sistem pemerintahan di Teheran.

BACA JUGA:  Politikus PSI: Jokowi Layak Dibandingkan dengan Nabi atau Tokoh Suci

Menurut artikel The Guardian pada hari Rabu (25/6), pakar menyatakan bahwa partisipasi militer Amerika Serikat tidak menjamin kesuksesan Israel. Misalkan serangan terhadap instalasi nuklir Fordow diyakin oleh mereka tak bakal berhasil walaupun dibekali bom berdaya hancuran kuat untuk benteng bawah tanah. Lokasi tersebut ada di dalam bukit berselimuti lapisan bebatuan tebal mencapai 90 meter, sehingga membuat sasarannya menjadi sangat sulit ditjangkau secara tepat dan aman.

Mengembuskan tanggung jawab penghancuran Fordow kepada Amerika Serikat sama saja menjadikan AS sebagai sasaran utama bagi Iran,” kata Daniel C. Kurtzer, mantan Duta Besar AS untuk Israel, bersama Steven N. Simon, mantan pegawai Dewan Keamanan Nasional, di majalah Foreign Affairs. Keduanya mengingatkan bahwa langkah tersebut kemungkinan besar akan mendapat balasan melalui serangan terhadap penduduk sipil Amerika, yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan konflik lebih lanjut.

Lebih jauh, strategi Israel yang tampaknya bertaruh pada agresi demi memancing respons militer AS dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah berisiko tinggi. “Apa yang kita lihat bukan pendekatan strategis, melainkan operasi udara yang kemudian menelan tujuan strategis yang lebih luas, yaitu penyelesaian politik,” ujar Andreas Krieg, profesor pertahanan dari King’s College London.

Konflik ini juga mengangkat kembali gagasan kontroversial mengenai perubahan rezim Iran. Isu ini memicu kekhawatiran luas di kawasan, terlebih setelah muncul laporan bahwa Israel sempat mempertimbangkan serangan langsung terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei—yang kabarnya telah diveto oleh Trump. Dalam konteks ini, ulama senior Irak, Grand Ayatollah Ali al-Sistani, menyampaikan peringatan publik yang jarang terjadi, mengenai dampak destabilisasinya bagi Timur Tengah.

Toby Dodge, profesor hubungan internasional di London School of Economics, turut menyoroti permasalahan mendasar dari pendekatan Israel. “Sejak berdirinya negara ini, ada anggapan dominan di Israel bahwa kekerasan bisa menyelesaikan masalah politik. Namun, Iran memiliki sejarah panjang dalam modernisasi teknologi dan proliferasi. Itu bukan sesuatu yang bisa dihapus hanya dengan bom,” tegasnya.

Ketersediaan pasokan logistik turut berpengaruh sebagai elemen penting dalam situasi tersebut. Diketahui stok rudal interceptor milik Israel sudah semakin menipis, sedangkan misi udara jangka panjang membuat pilot lelah dan merusak siap tempur peralatan. Apabila tingkat kekerasan konfrontasi reda, Iran kemungkinan besar akan menggunakan kesempatan itu untuk meningkatkan argumen yang menyatakan mereka mampu bertahan melawan dampak serangan paling parah.

Dalam konteks kebijakan Amerika Serikat, dukungan umum untuk campur tangan militer di Timur Tengah semakin merosot. Hal ini bisa jadi akan menggerogoti fondasi pemilih inti Donald Trump dalam kelompok Gerakan Make America Great Again.

Dengan minimnya dukungan masyarakat Amerika untuk tindakan militer, serta masalah ini bisa mengakibatkan perpecahan di antara para pendukung Trump, Israel malah dapat terlibat dalam perselisihan politik internal AS – hal yang bagi Trump sangat krusial daripada hanya mendukung Netanyahu,” sebagaimana dilansir dari The Guardian.

Mengenai hal tersebut, Toby Dodge berpendapat bahwa Israel mungkin akan mengalami akibat serius apabila perhitungannya strategisnya keliru. “Apabila Khamenei cukup cerdas untuk bersikap taktif dengan cara mundur, dan bila Amerika memilih untuk tidak terlibat, maka tampaknya Israel seperti telah menyodok jarinya ke dalam sarang lebah,” ungkap Dodge.

BACA JUGA:  Duduk Perkara Penangkapan Mantan Presiden Filipina: ICC Singgung Peran Pasukan Mati Davao

Walau proses negosiasi masih bisa dilanjutkan—seperti halnya hubungan diplomatik dengan berbagai negara Eropa di Jenewa minggu lalu—kesepakatan tentang senjata nuklir ini belum tentu memberikan manfaat dalam jangka waktu panjang untuk Israel. Meski rezim otoriter Iran kemungkinan akan bertahan, mereka dapat menjadi lebih agresif terhadap Israel serta memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai batasan-batasan dari kekuatan militer Israel.

Akhirnya, seperti yang dikemukakan oleh Jenderal Wesley Clark dalam bukunya Waging Modern War, bahkan kampanye udara paling sukses pun hanya efektif jika mampu memaksa pihak lawan ke meja perundingan. Jika itu yang dicapai, Israel tetap harus menghadapi pertanyaan mendasar: apakah serangan ini benar-benar membawa keamanan, atau justru membuka pintu menuju ketidakstabilan baru yang lebih luas dan lebih dalam.

700 Tentara Bayaran Israel Ditangkap, 3 Telah Dieksekusi

Selagi itu, Iran menyatakan bahwa mereka sudah menahan setidaknya 700 individu yang dicurigai menjadi pasukan bayaran dari Israel saat perang berlangsung selama 12 hari melawan negara Yahudi tersebut. Berdasarkan laporkan agensi berita Fars beberapa waktu lalu pada tanggal 25 Juni, sejumlah besar orang ini dipercaya erat keterlibatan mereka dalam aktivitas mata-mata dan pengrusakan yang dituduh menjalankan misi untuk kepentingan Israel, lebih tepatnya lembaga intelijennya yaitu Mossad.

“Pada awal ofensif Israel terhadap Iran, agen-agen rahasia dari rejim Zionis sangat sibuk di negeri tersebut,” demikian tertulis dalam laporan oleh Fars News Agency. Sejumlah penangkapan massal terjadi saat suasana memanas pasca serangan udara skala luas yang dilancarkan Israel ke wilayah Iran pada 13 Juni dan dikenali sebagai Operasi Singa Menaikan.

Agency Berita Fars juga menyampaikan informasi tentang penangkapan beberapa agen dari Israel yang terjadi di sejumlah provinsi. Daftar tersebut mencakup Kermanshah, Isfahan, Khuzestan, Fars, serta Lorestan. Akan tetapi, tidak ada detil tambahan mengenai berapa banyak orang yang ditangkap di ibukota Tehran dalam laporan ini.

Pada hari kemarin di awal pagi waktu lokal, Iran menghukum mati tiga individu yang diduga memiliki hubungan dengan Israel. Sesuai laporan dari Kantor Berita Mizan, nama-nama para terdakwa adalah Idris Ali, Azad Shojai, serta Rasoul Ahmad Rasoul. Mereka dilaporkan telah membawa masuk perlengkapan yang dipergunakan dalam kasus pembunuhan seorang korban tanpa merinci identitasnya.

Sementara itu, Mossad secara terbuka mengakui keterlibatan personel rahasianya dalam menjalankan operasi di dalam wilayah Iran menjelang dimulainya serangan. Dalam pernyataan ke publik, Mossad menyertakan rekaman video para agennya yang menjalankan misi diam-diam di balik garis pertahanan Iran. Salah satu misi utama adalah mendirikan pangkalan rahasia di dalam Iran untuk meluncurkan drone ke berbagai target militer strategis. (din/lyn/dns/jpg)

Check Also

Harga Emas Hari Ini: Pegadaian Absen, Lihat Daftar Terkini Galeri24 dan UBS

Harga Emas Hari Ini: Pegadaian Absen, Lihat Daftar Terkini Galeri24 dan UBS

JAKARTA, Harga emas batangan kembali menarik minat para investor serta publik pada tanggal 26 Juni …