Mahasiswi bernama Waitatiri menjadi sorotan sebab karyanya menjadi bahan ajar di Harvard University.
Sosok Waitatiri pun viral di media sosial.
Waitatiri merupakan alumni Universitas Indonesia yang mendapatkan beasiswa LPDP di Harvard University.
Alumni UI ini beberapa waktu belakangan mendapat sorotan masyarakat karena buku karyanya mengenai bullying dijadikan bahan ajar di Harvard University.
Waitatiri yang akrab dipanggil Wai ini mengangkat isu bullying pada anak-anak melalui bukunya.
Buku Waitatiri yang berjudul The Missing Colors merupakan buku bergambar yang menceritakan perjalanan anak yang mendapat bullying di sekolah hingga kembali bangkit.
Buku yang dijadikan bahan ajar di Harvard ini menggunakan perumpamaan warna-warna untuk menggambarkan emosi yang dirasakan penyintas bullying.
Wai mendalami isu bullying ini selama mengambil studi S2 di Harvard University.
Mengapa Wai memiliki semangat edukasi dan mendalami isu bullying?
Waitatiri merupakan alumni Sastra Jerman di Universitas Indonesia yang melanjutkan pendidikan enam tahun setelahnya di Harvard University.
Melalui beasiswa LPDP, Wai menempuh pendidikan S2 di jurusan Learning Design, Information and Technology.
Wai yang pernah menempuh karier profesional sebagai copywriter dan creative marketing ini memiliki semangat edukasi yang tinggi.
Dilansir dari Kompas.com (16/3/2025), Wai memiliki ketertarikan di bidang edukasi sejak mengikuti mata kuliah pengajaran di Sastra Jerman.
Ia menyadari kesukaannya dalam berbagi dan mengajari orang lain mengenai hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui.
Pada 2020, Wai menginisiasi program donasi “PonselUntukSekolah”.
Program tersebut bertujuan membelikan smartphone dan paket internet siap pakai bagi anak-anak yang membutuhkan untuk Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) .
Inisiasi tersebut berhasil menyalurkan 20 smartphone dengan paket internet untuk digunakan oleh anak-anak dan orang tua penerima donasi.
Pada saat berkuliah di harvard, Wai mendalami bullying karena banyak terpapar dengan pemberitaan bullying di Indonesia walaupun dirinya sedang berada di Amerika Serikat.
Tidak jarang bahwa kasus bullying yang didengarnya tersebut memakan korban jiwa.
Oleh karena itu, Wai tergerak untuk mengangkat isu bullying dan melakukan edukasi lewat karyanya.
Wai mendapat sorotan masyarakat melalui bukunya yang dijadikan sebagai bahan ajar di Harvard University dan beberapa sekolah lainnya di Amerika Serikat.
Seperti yang dikonfirmasi Waitatiri pada Kompas.com (14/3/2025), buku The Missing Colors (Warna yang Hilang) terinspirasi dari praktik bullying yang terjadi pada anak-anak di Indonesia.
Pada awalnya, buku ini merupakan proyek tugas akhir Waitatiri di kelas Education in Uncertainty (Pendidikan di Situasi Ketidakpastian).
Ternyata, dosen memberikan respons yang baik dengan menawarkan untuk memfitur buku tersebut di website Harvard REACH.
Sejak April 2024, buku tersebut telah resmi menjadi resource untuk pendidik di Harvard, serta dapat diakses gratis oleh siapapun.
Tidak berhenti di situ, Waitatiri terus mendalami isu bullying dan hendak meluncurkan buku tentang bullying yang selanjutnya.
“Buku Katanya, Bullying Melatih Mental yang akan rilis pertengahan tahun 2025 ini adalah perpanjangan dari riset yang kulakukan selama studi S2 di Harvard,” ujar Wai.
Wai mengungkapkan buku tersebut membahas mengenai fenomena bullying secara umum serta melalui kacamata korban, pelaku, dan pihak-pihak lain yang terlibat.
“Harapannya, melalui buku ini, kita bisa sama-sama memperjuangkan pendidikan yang aman dan nyaman bagi anak-anak Indonesia.” tambahnya.
Menempuh pendidikan sampai S2 serta mengedukasi lewat buku membuat Wai berpendapat bahwa membaca dan menulis itu penting.
Baginya, membaca dan menulis itu berkesinambungan.
“Membaca maupun menulis itu berkesinambungan, tidak berdiri sendiri-sendiri. Semakin sering membaca, semakin bagus juga kita dalam menulis dan berkomunikasi.” terangnya.
Menurut Wai, membaca harus menjadi kebiasaan untuk memelihara rasa ingin tahu.
Membaca juga membuat seseorang memiliki mindset yang berkembang dan ingin terus belajar.
Dengan rajin membaca, seseorang dapat melihat dunia termasuk masyarakat dan segala isu di dalamnya melalui cara pandang yang berbeda.
Bagi Wai, hal itu melatih seseorang untuk terbiasa untuk berpikir kritis, analitis, sekaligus berempati.
tribun-jatim